Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gugurnya Bhisma (Versi Jawa)

Gugurnya Bhisma (Versi Jawa)

Hari baru telah tiba, Kurawa telah menyiapkan tiga panglimanya, Resi Bhisma, Prabu Salya dan Resi Dorna. Dipihak Pandawa, Sri Kresna telah menyiapkan Drestajumna, putra Prabu Drupada sebagai senapati utama, dibantu Bima dan Arjuna. Sri Kresna juga telah menyiapkan Wara Srikandi di barisan tengah. Kakak Drestajumna ini sengaja disiapkan untuk menghadapi sang Dewabrata(Bhisma). Sesuai dengan kutukan Dewi Amba pada Dewabrata, bahwa kelak kau akan menemui ajal ditangan seorang wanita.

Pertempuran besar berkobar dengan sengit. Arjuna menghujani para prajurit Kurawa dengan panah-panahnya. Bima mengamuk dengan gada Rujak Polonya, dibantu Raden Setyaki dengan gada Wesi Kuningnya memporak porandakan formasi Garuda yang dibentuk prajurit Astina. Tak terhitung jumlah korban amukan Bima dan Setyaki. Duryudana geram melihat adik-adiknya, Citrawarman, Durmuka, Kanabayu, Subahu, Jayawikatha dan lainnya menjadi korban amukan kedua satria Amarta tersebut. Bubarlah sayap kiri Astina yang dikomandoi Prabu Salya, Resi Krepa, Kartamarma, Jayadrata dan Adipati Karna ini

Datanglah Resi Bhisma membantu, Sri Kresna tak mau menunda waktu lagi. Dipanggilnya Dewi Wara Srikandi untuk mendekat. Diutuslah Srikandi maju kemedan laga untuk menghentikan amukan Bhisma. Srikandi naik ke kereta perang, sang suami, Arjuna, menjadi kusirnya. Resi Bhisma tersenyum melihat kehadiran Srikandi dihadapannya.

Nampaklah oleh mata batinnya, Dewi Amba telah menyatu dianak panah Srikandi, Sarotama. “Sudah tiba takdirku untuk bertemu dengan cinta sejatiku, Dewi Amba,” demikian batin Bhisma. Sang Dewabrata nampak menutup mata, terbayanglah semua ingatan masa lalu bagaikan gambar yang diputar ulang, bingkai demi bingkai. Ketika sang Bhisma membuka mata kembali, nampak Srikandi dengan senyum seperti Dewi Amba telah berada dekat dengannya.

Bhisma seakan melihat Dewi Amba dihadapannya, ini membuat sang resi menjadi lemah. Melesat anak panah Sarotama dari busurnya, Resi Bhisma pasrah dengan takdir yang telah dinantinya. Panah Sarotama menembus dada sang Dewabrata dan menembus jantungnya. Sang Resi ambruk seketika di padang Kurusetra. Perang seketika berhenti, Prabu Duryudana beserta keluarga Kurawa dan juga Prabu Yudistira beserta keluarga Pandawa berlari menyongsong tubuh sang senapati utama yang rebah ditanah merah yang basah oleh darah.

Sejenak mereka melupakan permusuhan abadi selama ini. Mereka berkumpul menghadap sesepuh mereka. Dengan tersengal Bhisma berkata,”Teruskanlah pertempuran ini untuk membuktikan pendapat siapa yang benar. Kalian berdua ada dijalan masing-masing. “ Mendengar ucapan itu, kedua raja tersebut segera mendekap Resi Bhisma yang juga merupakan eyang mereka. “Tolong ambilkan bantal, aku ingin berbaring,” ucap Bhisma.

Duryudana segera menyuruh Dursasana untuk mengambilkan bantal. Segera Dursasana pergi dan kembali membawa bantal putih bersih. Bhisma nampak kecewa dengan apa yang dibawa Dursasana sambil berkata,”Bukan itu yang kumau, aku ingin bantal layaknya seorang ksatria.” Segera Arjuna melompat dan menghujamkan beberapa anak panah ke tanah agar kepala sang eyang bisa bersandar. “Nah, inilah bantal ksatria yang ku inginkan,”kata Bhisma.

Duryudana nampak kesal setelah pemberiannya ditolak oleh sang eyang, segera ia memerintahkan adik-adiknya untuk pergi kembali ke barak masing-masing. Resi Bhisma dengan segala ketakwaannya memohon kepada Hyang Wenang agar diberi waktu hingga akhir peperangan. Bhisma ingin melihat kehancuran Kurawa dengan segala perilaku buruknya. Keinginan ini terpenuhi.

Post a Comment for "Gugurnya Bhisma (Versi Jawa)"