Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gugurnya Karna Versi Pewayangan Jawa

Gugurnya Karna Versi Pewayangan Jawa

Gugurnya Karna Versi Pewayangan Jawa - Keesokan hari, putra Yamawidura yang bernama Raden Sanjaya mencoba mendahului Arjuna dengan menantang Karna. Tapi tantangannya tak didengar, yang mendengar adalah putra kedua Adipati Karna yaitu Raden Wersasena. Pertempuran tak terelakkan. Keduanya sama sakti, tapi Raden Sanjaya lebih beruntung. Wersasena tewas ditangannya. Melihat hal ini, Karna marah bukan kepalang. Anak lelakinya tinggal satu, tewas pula. Segera dia meladeni tantangan Sanjaya. Adipati Karna bukanlah tandingan putra Yamawidura tersebut. Tak lama, keris Kyai Jal ak menewaskan Raden Sanjaya. Setelah itu, Adipati Karna naik keatas kereta perangnya yang dikusiri Prabu Salya.

Nampak dikejauhan kereta perang Jaladara yang dikusiri Sri Kresna mendekat sambil membawa panengah Pandawa, Raden Arjuna. Ketika keduanya bertemu, sontak semua prajurit menghentikan pertempuran. Suasana hening. Dua putra Kunti kini bertemu dan akan saling bertarung hingga ajal menjemput salah satunya. Arjuna turun dari keretanya dan menyembah kakaknya.

Setelah menghaturkan sembah bekti, Arjuna mencoba membujuk kakaknya untuk tidak meneruskan bertarung dan bersama-sama membangun bersama Pandawa. Adipati Karna menolak dengan halus. “Ini adalah pengabdian atas apa yang telah diberikan Astinapura kepadaku,”ucap Karna. “Jika begitu, terimalah permohonan maafku. Bukan aku bermaksud lancang melawan saudara sendiri,”ujar Arjuna. Kembalilah mereka ke kereta masing-masing.

Perang tanding tak lagi terelakkan. Dengan gagah, kedua putra Kunti itu saling bertarung. Hampir seharian mereka bertarung, hari telah beranjak sore. Hingga kemudian Kresna melihat kelengahan dalam diri Karna dan Prabu Salya. Kresna memerintahkan Arjuna untuk melepaskan panah Pasopati ke leher Karna. Arjuna menurut, sambil memejamkan mata karena tak tega, Arjuna melepaskan panah yang memiliki ujung seperti bulan sabit itu.

Karena tajamnya Pasopati, Adipati Karna langsung tewas dan terduduk dikereta. Senyum tersungging dibibirnya, seakan tidak menyesali keputusannya membela Kurawa. Kidung layu turun disertai rintik hujan menyertai kepergian Adipati Basukarna. Segenap keluarga Pandawa berkumpul, member penghormatan terakhir kepada saudara sulung mereka. Mereka terlahir dari ibu yang sama meski memilih jalan yang berbeda. Mengetahui menantunya gugur, Prabu Salya turun dari kereta, lari kembali ke pesanggrahan Bulupitu.

Sore setelah Adipati Karna gugur, mendung gelap serta hujan yang turun membasahi Kurusetra seakan menahbiskan suasana hati para Kurawa. Kini jumlah mereka dapat dihitung dengan jari. Para Kurawa yang berjumlah seratus, kini hanya tinggal sepuluh. Termasuk Duryudana dan Raden Kartamarma. Sesungguhnya Bharatyudha telah berakhir, tapi Duryudana enggan mengaku kalah.

Kini tak ada lagi yang bisa diandalkan oleh Duryudana. Dalam siding di pesanggrahan Bulupitu, Patih Sengkuni terang-terangan menyindir Prabu Salya yang tak mau turun gelanggang lagi. Bahkan diperparah dengan ucapan Aswatama yang memojokkan Prabu Salya atas meninggalnya Adipati Karna. Ucapan Aswatama yang tidak ada sopan santunnya membuat Salya marah dan Duryudana mengusir Aswatama keluar dari pesanggrahan. Akhirnya diputuskan, Prabu Salya menjadi senapati tertinggi di Kurawa.

Gundah perasaan para Pandawa mengetahui Prabu Salya diangkat menjadi senapati tertinggi. Terutama sekali si kembar Nakula dan Sadewa. Ini berarti mereka haru berhadapan dengan sang uwa. Prabu Salya merupakan kakak dari Dewi Madrim, ibu Nakula dan Sadewa. Kresna paham benar dengan situasi ini, dengan bijak Kresna meminta agar Nakula dan Sadewa pergi menemui Prabu Salya dan memohon kemudahan bagi Pandawa. Dengan berat hati si kembar pergi menemui Salya. Ketika bertemu, Prabu Salya telah memahami maksud kedatangan keponakannya tersebut.

Dengan penuh kasih, Salya berucap,”Aku merestui segala tindakan Pandawa, aku juga menginginkan kemenangan di pihak Pandawa. Aku membela Kurawa karena putri-putriku yang menjadi istri Duryudana dan Adipati Karna. Ketahuilah, tidak akan ada yang sanggup menandingi kekuatan ajian Candrabhirawa. Ilmu ini hanya sanggup dikalahkan oleh seseorang yang memiliki jiwa yang suci. Katakan itu pada Sri Kresna, beliau faham apa maksudnya.” Setelah berkata demikian, Salya meminta kedua keponakannya untuk segera pulang karena hari akan terang dan perang akan segera dimulai. Nakula dan Sadewa undur diri.

Post a Comment for "Gugurnya Karna Versi Pewayangan Jawa"