Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gugurnya Duryudana Versi Pewayangan Jawa

Gugurnya Duryudana Versi Pewayangan Jawa


Gugurnya Duryudana Versi Pewayangan Jawa - Segera semua dipersiapkan untuk memulai perang tanding. Duryudana telah siap dengan busana prajuritnya, demikian pula Bima. Mereka berdua telah bersiap dengan senjata gada di tangannya. Duryudana menyerang, perang tanding berlangsung sengit. Pertarungan telah berlangsung lama, hari telah menjelang gelap. Tidak nampak siapa yang akan menang saat itu. Kresna yang mengawasi sedari tadi segera member isyarat kepada Bima.

Kresna menepuk-nepuk paha kirinya, sekilas Bima melihat isyarat itu dan langsung mengerti. Semasa bayi, Duryudana pernah dimandikan dengan air suci yang akan memberinya kekebalan, tetapi paha kiri Duryudana saat itu tertutup daun sehingga paha itu tidak terkena air suci. Itulah letak kelemahan Duryudana. Segera Bima menghantamkan gada Rujak Polonya dengan sekuat tenaga ke titik lemah Duryudana. Dengan jeritan yang agak tertahan, Duryudana roboh.

Dalam keadaan tidak berdaya, Bima terus menggempur paha kiri Duryudana sampai remuk. Melihat hal ini, Prabu Baladewa marah dan menantang Bima. Kresna segera bangkit dan menghampiri kakaknya. Kresna segera mengatakan bahwa semua ini adalah takdir yang telah tersurat, tak ada satupun yang dapat mengubahnya. Mendengar perkataan Kresna, amuk Baladewa menyurut. Duryudana telah sampai di penghujung nafas. Duryudana gugur. Mengetahui kematian Duryudana, Kartamarma sebagai satu-satunya Kurawa yang masih hidup segera melarikan diri ke hutan.

Malam hari, Pandawa telah menyempurnakan kematian Duryudana dengan membakar jenazahnya. Para prajurit duduk dengan riang melihat pertempuran telah usai dan mereka menjadi pemenang. Setelah perang usai, kembalilah para Pandawa beserta Sri Kresna ke Astinapura.

Kedatangan mereka disambut gembira oleh Dewi Kunti. Kemudian mereka bersama menghadap Prabu Drestarastra dan Dewi Gendari, orang tua para Kurawa. Pandawa memohon maaf karena para Kurawa tak tersisa dalam perang saudara tersebut. Prabu Drestarastra yang mengetahui cerita kematian Duryudana, anak yang sangat dikasihinya, segera bangkit dan mendekati Bima.

Tanpa disadari Bima, uwanya, Prabu Drestarastra ternyata telah merapal ajian Kumbalageni, dimana apapun yang disentuhnya akan hangus dan hancur. Kresna paham hal ini dan segera menarik Bima. Tangan Drestarastra mengenai patung dan hancur seketika. Setelah amarah Drestarastra dapat diredakan oleh Kresna, Drestarastra mau menerima takdir bahwa anak-anaknya telah tewas. Tidak demikian dengan Gendari, ibu para Kurawa ini menyumpahi Kresna sebagai dalang perang.

Gendari menyumpah bahwa nanti bangsa Yadawa atau keturunan Kresna semua akan binasa karena perang saudara. Kresna terperanjat mendengar sumpah Gendari. Keadaan jadi hening. Selang beberapa lama, para Pandawa pamit dan beristirahat di pakuwon. Sementara, Dewi Utari, istri Abimanyu telah melahirkan jabang bayi laki-laki yang diberi nama Parikesit. Kresna merasakan ada hal yang janggal pada malam itu dan meminta seluruh Pandawa untuk waspada.

Dikisahkan, Kartamarma yang melarikan diri ke hutan ternyata bertemu dengan Aswatama. Setelah menceritakan semua kejadian, mereka berdua merencanakan untuk membalas dendam dan kembali merebut Astina dari Pandawa. Singkat cerita, Aswatama dan Kartamarma berhasil memasuki wilayah Astina. Aswatama segera membaca mantra agar seluruh penghuni istana tertidur.

Dengan mudah Aswatama memasuki lingkungan istana dan masuk ke pakuwon Pandawa. Di kamar pertama, dia melihat calon raja baru Astina, Pancawala dan pembunuh ayahnya, Drestajumna tertidur pulas. Tanpa ampun, digoroknya leher mereka berdua tanpa sempat menjerit sekalipun. Masih terbakar api dendam, Aswatama masuk ke kamar kedua, dilihatnya Dewi Srikandi tertidur.

Dijambaknya rambut Srikandi dan dibentur-benturkan kepalanya hingga tewas. Aswatama kemudian melihat istri Arjuna yang lain, ada Wara Sembadra, Niken Larasati dan Sulastri. Semua dibunuh oleh Aswatama karena dendamnya terhadap Arjuna. Setelah itu, dia melihat Dewi Banowati. Istri Duryudana itu sangat dibencinya karena berselingkuh dengan Arjuna.

Tanpa ampun, dibunuhnya Banowati dengan kejam. Wajahnya hancur.Tinggalah Parikesit, sang jabang bayi yang tertidur. Aswatama berpikir, bahwa bayi ini yang akan menjadi raja di Astina karena anak Yudistira telah dia bunuh, anak-anak Bima telah gugur semua. Ketika Aswatama hendak membunuh Parikesit, dengan pertolongan dewata, tiba-tiba keris Pulanggeni yang disimpan disamping jabang bayi tertendang oleh Parikesit dan menembus dada Aswatama. Aswatama tewas. Parikesit menangis keras, membangunkan semua yang ada di pakuwon itu.

Semua yang berada dipakuwon bangun, Pandawa dan Kresna berlari menuju kamar tempat Parikesit. Betapa kagetnya mereka mendapati semua penghuni kamar tewas dalam kondisi yang mengenaskan. Arjuna terduduk lunglai, Yudistira dan Drupadi tertegun melihat jasad anaknya Pancawala yang tanpa kepala. Kresna menyesali diri, kenapa dia tidak waspada. Bima segera keluar pakuwon, dan dilihatnya Kartamarma melarikan diri. Segera dihantamnya Kartamarma dengan gada Rujak Polonya. Kartamarma tewas dengan kepala pecah. Pandawa berduka.

Keesokan hari, setelah melakukan penghormatan terakhir kepada para keluarga yang tewas. Kresna meminta agar Yudistira segera menyiapkan pemerintahan baru di Astina. Diangkatlah Parikesit sebagai raja baru, karena masih kecil maka Yudistira menjadi walinya dengan gelar Prabu Kalimataya. Sadewa ditunjuk sebagai patihnya. Sedangkan Nakula menjabat raja di Mandaraka menggantikan uwanya, Prabu Salya. Bima tetap memerintah di Jodipati, wilayah Indraprasta dan Arjuna menjadi raja di Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.