Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perang Baratayudha (Versi Jawa)

Perang Baratayudha (Versi Jawa)

Baratayudha atau perang keluarga Bharata merupakan klimaks perseteruan antara Pandawa dan Kurawa. Pihak Kurawa yang sangat berambisi untuk berkuasa penuh atas Astinapura menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan saudara mereka, Pandawa. Setelah semua yang mereka rencanakan selalu gagal, kekesalan mereka semakin memuncak hingga akhirnya hari yang ditakdirkan tersebut tiba. Perang Baratayudha terjadi di padang Kurusetra dan berlangsung selama 18 hari. Di Kurusetra ini, perebutan kekuasaan antara Pandawa dan Kurawa mencapai titik akhir.

Persiapan perang dimatangkan. Para sekutu dari kedua belah pihak telah berdatangan dan berkumpul. Strategi perang dipersiapkan. Pandawa membentuk 7 divisi dan Kurawa memiliki 11 divisi. Sebelum pertempuran dimulai, kedua belah pihak bertemu dan membuat peraturan-peraturan perang yang harus ditaati. Peraturan-peraturan yang berhasil dirumuskan diantaranya adalah:
1. Pertempuran dimulai setelah matahari terbit dan selesai saat matahari terbenam
2. Pertempuran satu lawan satu
3. Tidak boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri
4. Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata
5. Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar
6. Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak ikut berperang
7. Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang.

Meskipun aturan telah dibuat, tidak jarang kedua pihak melanggarnya. Semua dilakukan demi mendapatkan kemenangan.

Hari pertama pertempuran segera dimulai. Kurawa telah menetapkan Resi Bhisma sebagai panglima tertinggi didampingi oleh Pandita Dorna dan Prabu Salya. Sedangkan, Pandawa akan dipimpin oleh Resi Seta yang didampingi kedua adiknya Raden Utara dan Raden Arya Wratsangka. Para prajurit dan ksatria pilihan dari kedua pihak telah saling berhadapan di padang luas Kurusetra. Sekilas nampak sang Arjuna berdiri termangu, menatap ragu atas pandangan di depan matanya.

Lunglai sekujur tubuhnya merasakan bahwa yang akan dia hadapi adalah saudara sendiri serta orang-orang yang selama ini dia hormati dan agung-agungkan. Sri Kresna tanggap waspada dengan keraguan yang menimpa Arjuna, didekatinya panengah Pandawa tersebut dan terjadilah percakapan antara keduanya. Banyak nasihat dan wejangan yang diberikan oleh Sri Kresna terhadap Arjuna(dikisahkan dalam Bhagawad Gita). Setelah menerima nasihat dan wejangan dari Sri Kresna, Arjuna nampak kuat dan tidak ragu lagi menghadapi pertempuran.

Sementara itu, pertempuran telah berlangsung dengan sengit. Denting suara pedang beradu, teriakan kesakitan dari para prajurit memekakkan telinga. Pertempuran sengit terjadi antara Resi Bhisma melawan Resi Seta. Adu kesaktian antara keduanya berlangsung seimbang. Tidak ada prajurit yang berani mendekat akibat hawa panas yang dihasilkan dari pertarungan keduanya.

Ditempat lain, Resi Dorna menghadapi pangeran dari Wirata, Arya Wratsangka. Meski berbeda usia, Dorna yang kenyang pengalaman mampu mengatasi perlawanan anak muda Wirata. Dorna terus merangsek dan mendesak Arya Wratsangka. Dan ketika matahari mulai diatas kepala, Dorna menyudahi perlawanan Wratsangka dengan pusaka Cundamanik miliknya. “Wratsangka gugur…”teriak para prajurit Kurawa untuk membangkitkan semangat temannya. Mendengar teriakan tersebut, Raden Utara yang sedang bertempur melawan Prabu Salya mengamuk.

Sabetan gada milik Utara meremukkan kereta Prabu Salya. Kuda beserta kusirnya, Patih Mandaraka Tuhayata ikut tewas tertebas gada Raden Utara. Arya Rukmarata berusaha melindungi ayahnya, Prabu Salya, dari gempuran Raden Utara. Tapi ini tidak berlangsung lama, Rukmarata tewas terkena panah Resi Seta yang menghindari peperangan melawan Bhisma.

Melihat putranya tewas, Prabu Salya marah. Dirapalnya ajian Candrabirawa pemberian Resi Bagaspati, sang mertua. Nampak raksasa bajang keluar dari tubuh Prabu Salya dan menyerang Utara. Raden Utara menebaskan gadanya, bukannya mati, raksasa itu malah berlipat ganda ketika ada bagian tubuh yang terluka akibat gada Utara. Jumlahnya semakin banyak, membuat Raden Utara kewalahan. Ketika lengah, Prabu Salya segera melepaskan panah Kyai Candrapati ke dada Utara. Raden Utara gugur.

Senja menjelang, dan hari pertama pertempuran berakhir ketika sangkakala dibunyikan. Padang Kurusetra penuh dengan bangkai prajurit dan bangkai binatang yang terkapar tak bernyawa. Para Kurawa bersorak dengan kemenangan yang mereka raih hari itu.

Malam beranjak larut ketika api pancaka yang membakar tubuh Arya Wratsangka dan Raden Utara mulai padam. Nampak para ksatria Pandawa sedang bersedih menyaksikan tubuh kedua pahlawannya habis terbakar api. Disudut yang lain, Resi Seta sedang termenung dengan dendam yang membara untuk menuntut balas atas kematian kedua adiknya.

Surya perlahan menampakkan sinarnya, tanda hari baru telah menjelang. Para prajurit nampak telah siap tempur. Pihak Kurawa menempatkan Gardapati dan Wresaya sebagai pemimpin digaris depan menggantikan Prabu Salya dan Resi Dorna.  Sementara, dipihak Pandawa telah bersiap Bima dan Arjuna menggantikan Utara dan Wratsangka.

Resi Seta mengamuk, menghujani para prajurit Kurawa dengan panahnya. Dengan dendam yang terus terpelihara, Seta melepaskan anak panah sambil matanya mencari keberadaan Salya. Ketika terlihat, direntangnya busur dan anak panah menuju Salya, tapi sayang, anak panahnya hanya menyambar kereta perang Salya dan menjadi remuk. Melihat itu, Bhisma segera melepaskan panah ke Resi Seta, tapi tidak mempan. Seta semakin mengamuk, kali ini Dorna yang jadi sasaran. Mengetahui gurunya dalam bahaya, Duryudana segera menolong. Ditariknya Resi Dorna sehingga anak panah yang dilepaskan Seta mengenai Duryudana. Meski tidak terluka, tapi Duryudana mundur sambil meringis kesakitan. Salya dan Dorna kemudian dijauhkan dari medan pertempuran. Kembali Bhisma menghadapi Seta dengan segala amarahnya. Pertempuran berlangsung sengit dan seimbang.

Pertempuran berhenti karena matahari telah meredup. Keesokan hari, pertempuran dimulai kembali. Di hari ketiga, pertempuran antara Bhisma dan Seta kembali terjadi. HIngga akhirnya Seta dapat mendesak Bhisma, hingga sang Resi terjatuh kedalam jurang. Resi Seta menunggu kemunculan Bhisma dibibir jurang tapi setelah sekian lama, Bhisma tak kunjung muncul. Dikisahkan, didasar jurang, Bhisma ternyata tidak tewas. Samar terdengar olehnya, suara perempuan. Dalam gaib, perempuan itu berkata bahwa dialah ibunya, Dewi Gangga. Singkat cerita, Bhisma dianugerahi pusaka sakti, panah Cucuk Dandang oleh Dewi Gangga.

Seketika itu pula Bhisma sudah berada diatas jurang dan kembali ke medan pertempuran. Nampak olehnya Seta yang mengamuk dan menghabisi prajurit-prajurit Kurawa. Tanpa membuang waktu, dipanggilnya Seta untuk bertempur kembali dengannya. Resi Seta tampak terkejut dengan kemunculan Resi Bhisma. Bhisma segera merentang busur panahnya, kali ini anak panah Cucuk Dandang menjadi andalannya. Anak panah berbentuk paruh gagak hitam itu melesat dengan cepat menghujam dada sang Resi. Menggelegar tubuh sang Resi terkena anak panah, darah muncrat dari dada sang ksatria. Sorak sorai para Kurawa memecah kebisingan.

Dursasana, Kartamarma, Durmagati, Sudirga, Sudira dan yang lain bersorak kegirangan seakan kemenangan sudah didepan mata. Sementara, para ksatria Pandawa mendekati Resi Seta yang sedang sekarat. Arjuna dengan lembut memangku kepala Resi Seta. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Resi Seta berkata,”Cucuku Pandawa, telah tuntas perjuanganku, teruslah berjuang karena kebenaran ada dipihakmu….” Resi Bhisma mendekat dan mohon maaf kepada Resi Seta dan para Pandawa. Tapi inilah pertarungan, selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Rakyat Wirata dan Prabu Matswapati tak dapat membedung duka. Mereka telah kehilangan tiga orang putra terbaiknya, Resi Seta, Raden Utara dan Raden Arya Wratsangka.

Malam tiba, para Pandawa dan Prabu Matswapati berkumpul member penghormatan terakhir kepada Resi Seta. Ditempat lain, para Kurawa berkumpul di pesanggrahan Bulupitu. Nampak kegembiraan terpancar dari wajah mereka. Gugurnya panglima Pandawa semakin menebalkan harapan akan hadirnya satu kemenangan. Hari-hari berikutnya menjadi hari yang tak kalah mencekam di tegal Kurusetra. Setiap malam mengundang, ribuan burung bangkai dan lolongan serigala membuat merinding sekujur tubuh. Tak henti mereka berpesta dengan ribuan tubuh tak bernyawa.