Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Guru BK Selalu Salah di Mata Kepala Sekolah

Siswa Cerdas

Tugas dan fungsi guru Bimbingan dan Konseling (BK) di Sekolah adalah memberi bimbingan kepada siswa. Kurikulum 2013 terbaru tidak mewajibkan guru BK masuk kelas memberikan bimbingan seperti pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Meskipun begitu tetap boleh masuk kelas maksimal 2 jam seminggu, hal tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya Panduan Operasional Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling (POP-BK). Berdasarkan musyawarah MGBK kebanyakan sepakat tidak masuk kelas.

Yang perlu dipahami oleh kepala Sekolah dan rekan guru mata pelajaran lainnya adalah tugas guru BK bukan mengajar melainkan memberikan bimbingan dan konseling. Bagi yang belum paham pasti menganggap enak sekali kerja guru BK, nggak ngajar masuk kelas kok dapat bayar.

Keberhasilan pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah tidak lepas dari peran semua elemen termasuk Orang Tua, Guru Mata Pelajaran, Wali Kelas, dan Kepala Sekolah. Namun sayangnya mereka seolah-olah lepas tangan, semua permasalahan siswa harus ditangani guru BK.

Okelah mereka tidak mau membantu tetapi setidaknya memahami cara kerja guru BK, kalau ada apa-apa dengan siswa jangan salahkan guru BK saja. Dengan memberikan informasi atau laporan mengenai permasalahan siswa cukup membantu guru BK dalam membimbing siswanya.

Paradigma seperti inilah yang terjadi hampir di semua sekolah yang ada di Indonesia. Kalau Kepala Sekolahnya paham akan hal ini pasti beliau alumni Bimbingan dan Konseling. Yang perlu dipahami bersama adalah selain mengajar tugas guru itu membimbing. Percuma saja guru tersebut jago ngajar kalau tidak bisa membimbing siswanya, pasti kondisi di dalam kelas tidak kondusif.

Faktanya indikator keberhasilan yang dipakai hampir di seluruh Sekolah adalah tidak ada siswa yang tidak naik kelas, semua harus naik. Kalau ada siswanya tidak naik yang salah guru BK, untuk itu sebelum rapat kenaikan kelas semua siswa yang bermasalah dan tidak dapat ditolong harus dikeluarkan dari Sekolah.

Kalau guru BK tidak memutasi siswa keluar maka kena sanksi dari Kepala Sekolah dengan dikuranginya jumlah siswa asuh. Kebijakan semacam ini memang tidak etis, namun diterapkan dan ada. Kenapa Admin menulis artikel ini, karena bekerja sebagai guru BK dan melihat fenomena ini secara langsung.

Sanksi yang diberikan Kepala Sekolah kepada guru BK yang dianggap tidak mampu bekerja sesuai bidangnya membuat guru BK tidak bisa bekerja secara maksimal sesuai tugas dan fungsinya. Guru BK bekerja antara ketakutan dengan sanksi dan memilih membantu siswa atau tidak.

Misalnya ada kasus beberapa siswa yang tidak ikut Ujian Tengas Semester (UTS) atau Ujian Semester. Guru BK sudah membantu semakmsimal mungkin memediasi supaya siswa tersebut mengikuti ujian susulan, namun ada beberapa guru yang menolak dengan alasan tidak logis.

Padahal siswa tersebut sudah minta maaf kepada guru tersebut namun si guru tersebut tetap pada pendiriannya. "Itu salahnya siswa, kenapa tidak ikut ujian Saya? kok enak sekali minta ujian susulan". Otomatis kalau tidak diberikan nilai siswa tersebut tidak naik kelas.

Mirisnya kebanyakan guru mata pelajaran lebih suka melihat hasil daripada proses. Padahal yang utama itu adalah prosesnya. Butuh perjuangan panjang siswa yang tidak mau sekolah untuk membimbingnya menjadi rajin.

Kalau hanya ngomong "Besok Kamu harus ikut ujian, kalau tidak tidak akan Saya beri nilai". Pasti siswa tersebut tidak ikut ujian. Siswa zaman sekarang tidak takut terhadap ancaman guru, itu faktanya yang harus dipahami semua elemen sekolah.

Siswa semacam ini pendekatannya berbeda dengan siswa yang benar-benar pergi ke Sekolah untuk belajar daripada mereka yang dipaksa orang tuanya untuk sekolah.

Harapannya dengan tulisan ini rekan guru BK tetap semangat membimbing siswanya, jangan takut sanksi dan bekerjalah sesuai tugas dan fungsi BK di Sekolah. Untuk rekan guru mata pelajaran setidaknya paham bahwa keberhasilan siswa di Sekolah adalah tanggung jawab bersama.

Penulis: Varizal A
Guru BK SMK